Selasa, 26 Januari 2010

Field Trip To Mangrove




Kontributor
Abdoel Rosyid
--------------------------------------------------------------------------

Beberapa waktu lalu, tidak sengaja saya membaca sebuah artikel di surat kabar tentang wisata hutan mangrove di kawasan pantai timur Surabaya, "Wah, menarik nih", pikir saya. Saat itu juga saya bertekad liburan semester ini harus kesana, karena selain penasaran dengan tempat wisata baru ini juga karena lokasinya yang tidak jauh dari tempat kos saya. Aye!

Ekowisata Mangrove Wonorejo (EMW), terletak di kawasan pantai timur Surabaya, Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut. Kawasan ini merupakan salah satu pusat konservasi mangrove yang digunakan sebagai penyangga ekosistem pantai khususnya untuk menahan abrasi. Selain itu kawasan ini juga sebagai tempat tinggal dan persinggahan dari banyak spesies burung.

Untuk menuju kawasan ini mudah kok, setelah melewati jembatan MERR IIC dari arah Semolowaru belok ke kiri menuju arah kampus STIKOM, setelah itu lurus saja ke timur sampai kelihatan gardu induk PLN, lalu belok kanan, disitu juga ada papan penunjuk lokasi wisata mangrove jadi kita tidak usah kuatir tersesat. Jangan heran juga jika menemui beberapa ruas jalan yang becek karena jalanan masih berupa tanah yang saat musim hujan seperti ini sering menimbulkan genangan.


Di EMW ini terdapat 3 pos pantau, tempat pertama kali kita sampai lokasi adalah pos pertama. Disini kita bisa temukan penjual makanan dan minuman ringan, tempat parkir yang luas, toilet, penjual tiket dan 'dermaga' perahu. Dari pos pantau pertama menuju pos pantau kedua kita akan menyusuri sungai menggunakan perahu motor. Perahu ini berkapasitas kurang lebih 40 orang. Untuk keamanan, pihak pengelola membagikan rompi rescue kepada setiap pengunjung yang naik perahu. Selain itu perahu kita akan diikuti oleh satu perahu tim SAR untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.


Butuh waktu kira-kira 15 menit untuk sampai pos pantau kedua. Selama menyusuri sungai, kita akan dimanjakan dengan pemandangan hutan mangrove di kanan kiri kita. Karena kawasan ini juga merupakan pusat konservasi burung maka jangan heran jika dalam perjalanan kita temui bermacam jenis burung yang berseliweran ataupun bertengger diatas rimbunnya mangrove. Dan juga karena lokasinya dekat dengan muara jadi jika kita melihat ada buaya di pinggir sungai itu adalah hal yang biasa.



Sesampainya di pos pantau kedua, kita akan disambut sepasang monyet. Monyet tadi sudah jinak kok, tapi jangan coba bikin gara-gara dengan dia karena dia akan marah dan menggigit. Dari pos dua menuju pos pantau ketiga kita akan melewati hutan mangrove menggunakan jalan yang terbuat dari bambu, kalau orang jawa menyebutnya 'treteg'. Saat itu air masih surut sehingga kita bisa turun dari treteg tadi untuk melihat mangrove lebih dekat.



 Saya dan teman-teman sempat berkenalan dengan seorang pemandu wisata mangrove ini, namanya mas Adzam. Dia dan beberapa orang lainnya adalah warga sekitar yang diberdayakan untuk membantu mengelola wisata ini. Dengan sabar dia menjawab semua pertanyaan pengunjung yang cerewet seperti kami ini, hehe. Dari dia kami bisa tahu wujud buah dari mangrove yang bisa dibuat sirup, kemudian juga yang bisa digunakan sebagai tinta untuk membuat batik mangrove, tapi sayang waktu itu kami tidak sempat mengunjungi lokasi pembuatannya karena hari sudah siang dan panas jadi kami malas mencari lokasinya.

 
Pos pantau ketiga berupa gazebo yang langsung berhadapan dengan selat Madura, tempatnya cukup luas dan nyaman karena kita bisa merasakan semilir angin laut disini. Kata mas Adzam, di gazebo ini kita bisa menikmati hidangan 'bandeng lempung' dan 'bandeng seset' asalkan beberapa hari sebelum kesana kita sudah memesannya. Bandeng lempung itu adalah ikan bandeng yang dibungkus tanah liat lalu dibakar, meskipun memakai tanah liat katanya sih gak bakal bau. Kalau bandeng seset itu ikan bandeng bakar gak pakai duri,itu juga katanya, hehe soalnya saya juga belum sempat nyoba, mungkin lain waktu.

Ada cerita menarik waktu kami akan meninggalkan pos pantau dua, bisa juga sih sebagai tips. Jadi kemarin itu si monyet (namanya Akad), sempat ngambek gara-gara digoda oleh salah satu pengelola. Mungkin ngambeknya belum hilang, waktu saya dan rombongan akan meninggalkan pos dua si monyet ini gak mau turun dari perahu, karena susah diusir jadinya terpaksa si monyet ini ikut dalam rombongan kami. Tak berapa lama setelah perahu jalan, si Akad mondar mandir disekitar rombongan bahkan sempat juga dia bertengger di atas kepala beberapa pengunjung. Nah, rombongan yang waktu itu kebanyakan wanita dan juga anak kecil pada ketakutan, sebenarnya kalau kita tenang si monyetpun juga akan diam. Namun karena keberanian orang beda-beda maka pengunjung yang panik membuat perahu goyang. Demi alasan keamanan, pak nahkoda akhirnya memutuskan kembali ke pos dua untuk mengembalikan monyet nakal ini. Entah kenapa tidak berapa lama setelah sampai pos dua, si monyet ini loncat sendiri meninggalkan perahu, mungkin dia sudah bosan ngerjain kami, hahaha ada-ada saja nih monyet.


Untuk waktu berkunjung, sementara ini EMW masih buka hanya hari sabtu dan minggu saja, menunggu tanggapan dari masyarakat dulu tapi jangan kuatir jam 6 pagi sudah buka hingga jam 4 sore.
Dan juga sebenarnya EMW ini masih membutuhkan beberapa pembenahan untuk benar-benar siap menjadi daerah wisata. Karena rencananya selain menambah jumlah gazebo, jalur trekking melewati treteg tadi akan ditambah sehingga kita bisa lebih lama menikmati mangrove dengan berjalan kaki. Wisata alam seperti ini memang sudah seharusnya dikembangkan dan dikelola dengan baik. Yah kita tunggu saja kedepannya jadi seperti apa kawasan wisata ini, harapan saya sih semoga tetap mempertahankan alamnya dan kalau bisa mangrovenya bisa semakin rimbun, GO GREEN!!!


special thanks to : Tri Eko yang udah ngidam pingin jalan-jalan, Rosyid untuk kameranya, dan Fajar yang katanya mau jadi sopir pribadi saya, piss ndud!:)

Burn Outside Sweet Inside









Kontributor
Fajar 'Ndud' Dwinugroho adalah seorang traveler dan hiker.Seorang sportholic khususnya futsal dan badminton. Penyuka tetralogi Laskar Pelangi ini juga merupakan seorang penikmat tembang-tembang Jawa.
----------------------------------------------------------------------------------


Ketika beberapa kali melewati jalan raya Malang-Surabaya, ada hal yang menarik perhatian saya. Di pinggiran jalan ada papan bertuliskan "ubi madu". Ya, ubi madu atau yang biasa dikenal dengan sebutan ubi cilembu ini cukup membuat saya penasaran untuk mencicipinya.

Mungkin bagi warga Sumedang dan sekitarnya, tentu penganan ini tidak akan sukar didapat karena ubi ini merupakan ras lokal kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang. Namun bagi saya yang asli Jawa Timur, ubi cilembu ini merupakan kuliner baru yang wajib diincip. Hingga pada suatu sore dibawah rintik hujan, saat melintas daerah Singosari, saya mampir di salah satu kios penjual ubi madu tersebut. Selain ingin beli, sebenarnya saya juga ingin tahu banyak tentang ubi cilembu ini. Saat masuk kios, ternyata mas penjualnya yang bisa saya tebak asli Sunda ini (dari logat bicaranya) telah menyediakan ubi yang sudah di bakar, jadi saya tidak butuh waktu lama untuk bisa langsung "ngicipi" ubi yang menurut kebanyakan orang sangat nikmat ini.

Harga untuk ubi yang fresh from the oven dibanderol 15 ribu rupiah per kg nya sedangkan yang masih mentah cukup 10 ribu rupiah saja. Awalnya saya beli setengah kilo saja, mau nyoba dulu gimana rasanya. Saya ambil satu ubi yang agak besar, lalu saya potong separuh. Sesaat setelah saya potong tadi tiba-tiba dari dalam ubi keluar cairan berwarna coklat keemasan agak lengket dan kental, semacam madu. Melihat hal yang eksotis di depan mata tersebut, saya semakin bernafsu dan mulai memasukkan potongan ubi tadi ke dalam mulut. "Cccrroottt..", ketika ubi terlumat di mulut saya, saya merasakan suatu rasa yang hhmmmmmm, enak! Perpaduan rasa ubi yang nikmat ditambah rasa manis yang berasal dari cairan dalam ubi itu membuat satu paduan yang lezat.



Saya terkejut dengan rasa nikmat yang dihadirkan si ubi. Apalagi si ubi hadir dengan balutan manis dari "madu" nya. Ketika tengah asyik menikmati ubi, ada seorang ibu di dalam angkot yang berada di depan kios memandangi saya dengan mimik muka heran. Mungkin dalam pikirannya,"Arek lemu iki mangan opo yo? kok, ketho'e wuenak banget." (anak gendut ini sedang makan apa ya? kok sepertinya enak sekali-red).

Menurut mas yang njual, cairan manis ini bisa keluar dengan optimal jika si ubi di oven atau dibakar. Jika di goreng, cairan 'madu' nya ngga' bakal keluar. Kalo dikukus? "Kalo dikukus mah, madunya ngga' keluar sebanyak kalo di ophen ato di bakar". Setelah melahap habis setengah kilo ubi, ternyata saya masih kurang. Yah mau gimana lagi, terpaksa deh nambah setengah kilo lagi, hehehe.

Hot Sensation From Wedang Cor












Kontributor
Fajar 'Ndud' Dwinugroho adalah seorang traveler dan hiker.Seorang sportholic khususnya futsal dan badminton. Penyuka tetralogi Laskar Pelangi ini juga merupakan seorang penikmat tembang-tembang Jawa.
----------------------------------------------------------------------------------


Jika kamu mendengar kata Jember, mungkin yang terbayang di pikiran kamu adalah JFC (Jember Fashion Carnaval). Yah, saat ini memang JFC membius dunia dengan karnaval pakaian "aneh" nya, tapi yang "aneh" itulah yang justru menjadi daya tarik tersendiri. Dalam hal kuliner, Jember ga bisa lepas dari yang namanya tape. Suwar-suwir, prol tape, brownies tape dan semua jajanan berbahan dasar tape banyak ditemui di pusat oleh-oleh khas Jember tersebut.

Untuk makanan berat, kebanyakan masakan di Jember hampir sama dengan kebanyakan masakanan khas Jawa Timur, tidak ada yang khas asli Jember. Namun,untuk beverage-nya, Jember memiliki satu minuman yang khas, yang belum pernah saya temui di daerah lain. Di Jember pun cuma ada satu tempat yang menjual minuman penghangat badan ini. Bahkan masyarakat Jember sendiri banyak yang belum tahu tentang minuman yang akhirnya di beri nama "WEDANG COR" ini.


Yap, wedang cor. Minuman hangat yang sangat nikmat dinikmati di tengah dinginnya kota Jember diwaktu malam, apalagi setelah diguyur hujan. Para penikmatnya sering menyebut "ngecor", jika hendak melakukan ritual menikmati wedang cor ini. Ngecor, kata yang beberapa waktu lalu sering dikaitkan dengan goyangan maut salah satu penari dangdut. Ngecor-nya penari dangdut dan ngecor-nya penikmat wedang cor memiliki kesamaan, yaitu sama-sama panas. Kalo panasnya penari dangdut, kamu tentu tahu sendiri gimana. Kalau wedang cor begini ceritanya, wedang cor (sesuai namanya) terdiri dari campuran banyak bahan. Yaitu terdiri dari tape ketan item, yang dimixing dengan jahe serta susu berwarna putih, kentel dan manis. Setelah semua bahan tersebut disatukan, kemudian diaduk dengan beberapa rpm, maka terbentuklah minuman yang sangat nikmat dengan sensasi hangat yang mantab.

Panasnya jahe, ditambah dengan hangatnya tape ketan akan sangat memanjakan badan dikala dingin. Menikmati wedang cor paling cocok sambil makan gorengan yang ternayata memang dijual juga di warung "ngecor" ini. Tempe tepung, tahu petis, pisang goreng dan ote-ote (dalam bahasa Jember disebut "hongkong") dijual dalam keadaan fresh from the wajan.

Jika kamu sedang berada di Jember dan ingin ngicipi wedang cor ini, kamu bisa datang langsung ke warung ini yang letaknya berada di gang sebelah Kantor Perhutani Jember (kalau tidak salah jalan Pandjaitan). Dari mulut gang kira-kira 200 meter kita bisa temui warung ini, tepatnya pas di depan perumahan Dinas Pajak Jember. Warung yang biasanya buka malam hari ini kecil memang, tapi di dalam kesederhanaannya itu terdapat minuman yang bisa mengguncang dunia (lebay : MODE ON). Segelas wedang cor dihargai cuma 3000 rupiah saja. Untuk gorengannya juga sangat murah, cocok dengan kantong kaum marginal.
So, kalau kamu lagi ingin menikmati indahnya malam di Jember dan ga punya alergi terhadap tape,jangan ragu-ragu untuk menikmati hangatnya WEDANG COR..!!!

Ads Inside Post