Senin, 08 Agustus 2011

Monumen Simpang Lima Gumul, Arc de Triomphe-nya Kediri


Kalau Paris punya Arch de Triomphe, maka warga Kediri bangga dengan Monumen Simpang Lima Gumul-nya. Jika dilihat sekilas, bentuk kedua bangunan ini memang tampak sama, hanya saja jika dilihat pahatan relief di dindingnya maka akan nampak perbedaannya. Relief di dinding Monumen Simpang Lima Gumul terlihat lebih bernuansa lokal dan sederhana. Monumen yang mulai dibangun pada tahun 2003 ini terletak di Desa Tugurejo, Kec. Gampengrejo, Kab. Kediri - Jawa Timur. Letaknya yang berada diantara lima persimpangan jalan, membuat monumen ini ibarat sebuah jantung pusat bertemunya arus lalu lintas dari arah sekitar Kediri yaitu Wates, Gurah, Pagu, Pare dan Kota Kediri.


Monumen Simpang Lima Gumul terlihat begitu megah hingga sempat membuat saya takjub saat pertama kali datang kesana. Barisan pohon sawit yang tertata apik dan rumput yang terpangkas rapi, nampaknya dapat memberikan sedikit kesan asri pada monumen ini. Area di sekitar monumen juga nampak bersih dan terawat. Waktu saya kesana tidak terlihat satupun pedagang kaki lima yang mangkal di sekitar area monumen. Entah karena memang bukanya agak malam atau memang tidak ada, yang jelas waktu itu saya hanya melihat sesama pengunjung saja. Yang unik dari monumen ini adalah dibangunannya terowongan bawah tanah yang menghubungkan area parkir dengan area monumen. Jangan dibayangkan terowongan ini sempit dan pengap seperti goa-goa jaman penjajahan jepang dulu, terowongan yang ada di monumen ini adalah terowongan modern yang dindingnya sudah di cor disertai penerangan yang memadai. Tidak ada tarif yang dikenakan untuk menikmati kemegahan bangunan ini dari dekat, kalaupun harus mengeluarkan uang mungkin hanya untuk biaya parkir dan toilet saja.


Saya merasa beruntung bisa tiba disana saat senja karena nampaknya menjadi momen yang pas untuk menikmati kemegahan bangunan kebanggaan warga Kediri ini. Langit yang  masih biru dengan matahari sudah hampir tenggelam, ditambah temaramnya lampu yang senada dengan warna dindingnya, membuat Monumen Simpang Lima Gumul terlihat semakin cantik. Maka tak heran kalau monumen yang menjadi ikon Kabupaten Kediri ini selalu ramai pengunjungnya, apalagi saat malam hari. Kebanyakan dari mereka hanya sekedar duduk santai ataupun foto-foto menikmati waktu luangnya disini bersama kerabat ataupun teman.

Nostalgia Memasak Daging Bekicot


Mengkonsumsi daging bekicot bukanlah hal baru bagi saya. Bagi sebagian orang, binatang berlendir ini mungkin terkesan menjijikkan. Namun, bagi sebagian orang lagi, termasuk saya, olahan bekicot merupakan kuliner yang layak dikonsumsi. Waktu masih SD saya sering diajak sepupu-sepupu saya berburu bekicot. Saya ingat, dulu paling tidak sebulan sekali kami blusukan ladang orang untuk mencari binatang bercangkang ini. Dari yang saya amati, bekicot-bekicot ini biasanya paling gampang ditemui di sela-sela tanaman pandan.

Proses menjadikan bekicot menjadi sebuah hidangan yang layak dikonsumsi ternyata susah-susah gampang. Perlu beberapa tahap untuk mengolahnya. Pertama, kami rebus dulu si bekicot hidup-hidup beserta cangkangnya. Agak sadis memang. Tujuan dari tahap ini adalah menghilangkan lendirnya dan juga biar gampang memisahkan daging bekicot dengan cangkangnya.

Kata sepupu saya, tidak semua bagian dari bekicot ini bisa diolah. Hanya bagian 'kaki' saja yang biasanya diambil untuk dijadikan hidangan, lainnya dibuang. Proses perebusan tadi ternyata tidak bisa menghilangkan semua lendir yang ada, perlu dilakukan perendaman menggunakan air kapur, kalau dalam bahasa jawa biasa disebut enjet. Tidak ada batasan waktu yang pakem pada tahap ini. Semakin banyak lendir maka waktu perendaman juga semakin lama, tapi jangan terlalu lama. Nah lo, piye kui? Pokoknya jika daging bekicot dirasa sudah lumayan kesat maka proses perendaman bisa dihentikan.

Setelah lendir dihilangkan maka cuci bersih dagingnya. Tahap selanjutnya adalah proses marinasi. Proses ini dilakukan dengan merendam daging bekicot ke dalam cairan berbumbu. Sayangnya saya lupa komposisinya, hehe. Tujuan marinasi ini adalah selain menghilangkan bau anyir daging bekicot, juga biar bumbunya bisa lebih meresap. Maklum saja, bagian 'kaki' bekicot ini memiliki densitas serat yang paling rapat diantara bagian yang lain. Biasanya kami dulu butuh waktu 30 menit untuk melakukan marinasi ini, baru setelah itu tinggal diolah sesuai selera. Bisa ditumis, dicampur santan atau disate. Kalau saya dan sepupu-sepupu saya biasanya suka olahan bekicot yang ditumis dengan rasa yang pedas lalu dimakan dengan nasi putih yang hangat rame-rame. Ah, betapa nikmatnya waktu itu.

Morning Grey

Seorang nelayan sedang mempersiapkan perahunya untuk pergi melaut. Inilah salah satu pemandangan pagi yang dapat ditemui di Pantai Ria Kenjeran - Surabaya.

Ads Inside Post